Haji menjadi sebuah gelar yang sudah membudaya di Indonesia. Entah bagaimana kepastian awal mula sejarahnya, kami juga kurang mengetahuinnya. Lantas bagaimana sikap kita sebagai muslim atas gelar HAJI, yang mana di zaman Nabi tidak ada.
Sebelumnya kami secara tidak sengaja mendengar di sebagian masyarakat dan kebetulan juga membaca di salah satu situs dan media sosial. Yang disitu banyak yang mengatakan gelar Haji itu bid'ah yang dilarang agama, tapi juga tidak sedikit yang berpendapat bahwa gelar Haji sah-sah saja.
Why?
Kita semua tentunya tahu, bahwa Nabi Muhammad dan para Sohabat, begitu juga Tabiin juga tidak memakai gelar Haji, sebagaimana yang dimaksud dalam masyarakat kita. Maka dalam hal ini tidak dapat dipungkiri akan sebuah fakta sejarah, tetapi konteks hukum sesungguhnya dalam hal ini juga harus diklarifikasi agar tidak timbul kerancuan atau pengawuran yang membuat awut-awutan seperti hutan yang tanpa perawatan.
Kami belum pernah menemukan dalil Nash dalam Al Quran, Hadits ataupun perkataan para ulama salaf atas larangan akan hal itu, perintah juga tidak ada. Oleh karena itu, maka dalam Ushul Fiqih ada sebuah qoidah
الاصل الإباحة حتى يدل الدليل على تحريمها
"Hukum asal sesuatu adalah mubah sehingga ada dalil yang mengharamkannya atau melarangnya"
Memang pada zaman para ulama terdahulu tidak menggunakan gelar Haji, tapi gelar yang lain seperti Al Imam Syafi'i, Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghozali, Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani dan lain sebagainnya.
Tetapi perlu diketahui bahwa gelar para ulama diatas bukan penyematan dari diri sendiri, tapi gelar yang diberikan oleh orang lain terhadap para ulama tersebut atau bisa dikatakan bukan kemauan diri sendiri.
Gelar (selain Nabi) apapun jikalau sengaja disematkan oleh dirinya sendiri ataupun gelar tersebut pemberian orang lain maka sama-sama dikhawatirkan timbul Riya dan Sum'ah bahkan Ujub. Maka larangan yang secara jelas adalah dalam segi sombong atas gelar tersebut, bukan gelarnya yang salah. Karena riya, sum'ah dan ujub memang musuh nyata yang harus terus dilawan bukan dibiarkan bertumbuh. Entah riya tentang solat, puasa sampai pada pembahasan ini yaitu Haji.
Sebagaimana Hadits Nabi
إنّمَا الأعمَالُ بِالنِّيَات
Kurang lebih artinya:
"Segala amal itu tergantung pada niat"
Tinggal tujuan menyematkan gelar itu untuk apa?
Bidahkah?
[Baca pengertian bid'ah disini] agar bisa sejalan dengan apa yang kami maksud
Jika ada yang mengatakan bahwa gelar Haji itu bid'ah yang dilarang agama secara mutlak, maka kami ulangi bahwa kami belum pernah menemukan dalil yang nash ataupun isyarat larangan atas hal itu baik Al Quran, Hadits maupun perkataan ulama Salafus Solih. Kalaupun belum pernah dicontohkan Nabi tentu gelar DR dan Kyai, bahkan Spdi sampai Lc juga larangan karena gelar-gelar ini juga belum pernah dicontohkan Nabi.
Dan kata Ustadz yang asalnya hanya berarti pengajar atau guru, kenyataanya sekarang sudah menjadi keumuman untuk gelar orang yang pandai dalam hal agama. Semua dapat kita dipahami, mungkin saja bentuk penghormatan yang khusus dari masyarakat begitu juga Kyai, Syech dan lain sebagainnya yang tidak perlu dipermasalahkan
Maka dari itu, gelar Haji itu bukan menciptakan ibadah baru yang disebut bid'ah dalam hal ibadah. Karena ibadahnya berupa haji dan gelar Haji jelas bukan ibadah. Dan gelar Haji bukan termasuk perintah juga bukan larangan.
Jika menciptakan ibadah baru (bid'ah) itu seperti solat nisfu sa'ban, solat birul walidain dan solat Roghoib
Berbeda jika gelar Haji itu disematkan dari kemauan sendiri, apalagi orang yang sudah berhaji sampai tidak rela gelar Haji itu tidak disematkan dalam namanya. Ini baru dikatakan keblinger. Lebih-lebih timbul riya, sum'ah atau ujub maka gelar tersebut menjadi larangan karena Riya itu dan bukan masalah gelar Hajinya.
Wallohu A'lam
0 komentar:
Posting Komentar