Kebiasaan sebagian masyarakat muslim di negara kita khususnya di toko-toko, swalayan, televisi dan sebagainnya ketika menjelang hari natal banyak yang memakai topi sinterklas/santa atau simbol-simbol natal lainnya. Ada sebagian pekerja/karyawan yang melakukannya karena diperintah oleh atasannya. Ada juga yang berdalih ini termasuk bentuk toleransi.
Walaupun Indonesia bukan negara yang bersyariatkan Islam seperti negara-negara Timur Tengah. Tetapi Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan yang juga tertuang pada sila pertama Pancasila. Dan Pancasila menjadi sebuah ideologi di NKRI tercinta ini.
Yang pasti Indonesia bukan negara komunis seperti Tiongkok, Vietnam dan Korea Utara. Tetapi berideologi Pancasila, yang mana kita juga diperintahkan saling menghormati, menghargai dan tidak saling memaksakan pakaian, simbol dan keyakinan antar umat beragama. Begitulah Asas Bhineka Tunggal Ika.
Ketika hari raya idul fitri umat muslim, tidak perlu menyuruh anak buahnya yang non muslim ikut memakai serban, peci putih ataupun jilbab. Atau malah perintah agar non muslim ikut takbir keliling. Jika hal itu dipaksakan maka itu melanggar hak-hak beragama.
Namun kita juga harus fair dan adil yakni sebaliknya ketika hari natal warga non muslim jangan memaksa kepada karyawannya yang muslim untuk memakai topi santa, atau berpakaian khas natal. Jika memaksakan maka ini ada pidanannya.
Bagaimana jika itu sebuah toleransi?
Toleransi dalam beragama tentu ada batasannya. Karena setiap agama mempunyai aturan masing-masing yang perlu dihormati.
Dengan cara tidak saling mengganggu, tidak saling mencampuri hak-hak beragama adalah sikap yang toleran menurut kami. Yaitu dengan membiarkan warga non muslim beribadah dan merayakan natal itu sudah menunjukkan keharmonisan antar umat beragama. Tidak perlu sampai ikut mengamankan dan membela karena sudah ada yang berwenang dalam hal ini.
Lalu bagaimana Islam memandang hal ini
Ibnu Hajar Al Haitami yang bermadzhab Syafii yang terkenal dengan qoul-qoulnya yang sering dijadikan rujukan para muqollid Syafi'iyah berkata dalam kitab Fatawil Kubro Al Fiqhiyah bab Riddah juz 4 hal. 215
"Apabila dalam melakukan hal itu dengan maksud tasyabuh dalam syiar kafir maka orang itu kufur dengan pasti, atau dalm syiar hari raya serta tanpa melihat dari kafirnya maka dia tidak kafir, tapi dia berdosa, jika tidak bermaksud tasyabuh sama sekali, maka tidak mengapa. Kemudian saya melihat sebagian Mutaakhirin menuturkan hal yang yang mencocoki penjelasanku. Maka berkata : "Diantara bid’ah yang paling buruk adalah tindakan kaum muslimin mengikuti kaum Nasrani di hari raya mereka, dengan menyerupai mereka dalam makanan mereka, memberi hadiah kepada mereka, dan menerima hadiah dari mereka di hari raya itu. Dan orang yang paling banyak memberi perhatian pada hal ini adalah orang-orang Mesir, padahal Nabi Saw telah bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari mereka”. Bahkan Ibnul Hajar mengatakan: “Tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada seorang Nasrani apapun yang termasuk kebutuhan hari rayanya, baik daging, atau lauk, ataupun baju. Dan mereka tidak boleh dipinjami apapun (untuk kebutuhan itu), walaupun hanya hewan tunggangan, karena itu adalah tindakan membantu mereka dalam kekufurannya, dan wajib bagi para penguasa untuk melarang kaum muslimin dari tindakan tersebut"".
Pendapat ini juga sejalan dengan penjelasan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin Bab Riddah halaman 248
Kemudian dalam Ahkamul Fuqoha' Hasil KEPUTUSAN MUKTAMAR NU KE-2, di Surabaya pada tanggal 9 Oktober 1927, Masalah no. 33 hal 25, berikut kutipannya:
"Apabila memakainya itu sengaja meniru orang kafir untuk turut menyemarakan kekafirannya, maka hukumnya orang itu menjadi kafir (dengan pasti). Apabila sengaja orang tersebut menyemarakan Hari Raya dengan tidak mengingat kekafirannya, maka hukumnya tidak kafir, tetapi berdosa. Apabila tidak sengaja meniru sama sekali, tetapi hanya sekedar berpakaian demikian, maka hukumnya tidak terlarang tetapi makruh".
Dengan merujuk kitab Fatawil Kubro dan kitab Bughyatul Mustarsyidin
Kemudian hal senada juga dibahas pada Muktamar NU ke 14 masalah no.239 hal.171
Selanjutnya Fatwa MUI yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 2016 sebagai berikut:
Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.
Ketentuan Hukum
1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
http://mui.or.id/index.php/2016/12/22/hukum-menggunakan-atribut-keagamaan-non-muslim/
MUI berfatwa juga tidak mungkin ngawur. Justru MUI berfatwa berlandaskan dalil mulai dari Al Quran, Hadits, Ushul Fiqh dan juga fatwa-fatwa Ulama dari kalangan Mazdhab Syafi'i, Hanbali dll
- Surat Al Baqoroh 104
- Surat Al Baqoroh 42
- Surat Al Kafirun 1-6
- Surat Al An'am 153
- Surat Al Mumtahanah 8
- Surat Al Mujadalah 22
Begitu juga kutipan MUI tentang Hadits dari Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam At Tarmizdi
MUI juga mengutip fatwa para ulama dari berbagai Madzhab, antara lain
- Imam As Syarbini Mughnil Muhtaj 5/526
- Imam Jalaluddin al-Syuyuthi dalam kitab Haqiqat al-Sunnah wa al-Bid’ah : al-Amru bi al-Ittiba wa al-Nahyu an al-Ibtida’ hal 42
- Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam kitab Fatawil Kubro 4/239
- Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir 1/373 surat Al Baqoroh ayat 104
- Ibnu Taymiyah dalam kitab Majmuk Fatawa jilid XXII hal 95
- Imam Ibnu Qoyyim al Jauzi dalam kitab Ahkam Ahl al-Dzimmah, Jilid 1 hal. 441-442
- Al-‘Allamah Mulla Ali al-Qari, sebagaimana dikutip Abu Thayyib Muhammad Syams al-Haq al-Adzim Abadi dalam kitab Aun al-Ma’bud, Juz XI/hal 74
Kemudian MUI juga merujuk pada Fatwa MUI tentang Perayaan Natal Bersama pada Tanggal 7 Maret 1981 dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Tinggal kita mau mengikuti Al Quran, Hadits dan fatwa-fatwa Ulama atau lebih memilih dengan pola pikir kita sendiri.
Lalu mengapa kita repot-repot mengajak umat muslim mengikuti aturan begitu, lha wong orang muslim yang pakai atribut natal saja biasa-biasa saja kok tidak merasa dipaksa bahkan keinginannya sendiri. Mengapa kok melarang. Ini kan Indonesia Bhineka Tunggal Ika.
Justru kemajemukan adalah keniscayaan di Indonesia, maka dengan menjaga saling menghormati dan menghargai bukan saling masuk perkara antar agama satu ke lainnya. Agar semua menikmati ibadahnya masing-masing tanpa memaksa mengajak ikut berhari raya ataupun beribadah di agama lain.
Adapun di sekitar kita terdapat sebagian memerintahkan jangan memakai atribut non muslim atau melarang memakai atribut non muslim adalah bentuk Amar Makruf Nahi Mungkar yang jelas-jelas disabdakan Rosululloh S.A.W.
ﻣَﻦْ ﺭَﺃَﻯ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣُﻨْﻜَﺮًﺍ ﻓَﻠْﻴُﻐَﻴِّﺮْﻩُ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻘَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﺃَﺿْﻌَﻒُ ﺍﻹِﻳﻤَﺎﻥِ ....رواه مسلم
Kurang lebih artinya:
“Barang siapa yang melihat dari kalian kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman"
-------------------------
Sumber:
“Barang siapa yang melihat dari kalian kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman"
-------------------------
Sumber:
- Fatawil Kubro bab Riddah cet.Darul Kutub Islamiyah baerot lebanon
- Bughyatul Mustarsyidin cet. Al Hidayah Surabaya
- Ahkamul Fuqoha' Masalah Keagamaan Muktamar dan Munas NU cet Dinamika Press Surabaya 1997
- Hukum menggunakan atribut keagamaan non muslim situs mui.or.id
0 komentar:
Posting Komentar